Grotius:
Law is a rule of moral action obliging to that which is right”
(Hukum adalah sebuah aturan tindakan moral yang akan membawa kepada apa yang benar).

Minggu, 17 Juli 2011

PERUBAHAN NEGARA INDONESIA KARENA DAMPAK REFORMASI DALAM PERSPEKTIF KONSEP MODEL PERUBAHAN


Oleh : Prima Angkupi, S.H.

A. Pendahuluan


Perubahan struktur lembaga masyarakat atau negara, yang terencana, yang mengarah ke distribusi kekuasaan, yang bertujuan menciptakan keterbukaan politik, mem-perluas partisipasi massa, terutama untuk golongan masyarakat tertentu, disebut reformasi politik.

Reformasi, merupakan pernyataan sikap kompromis antara, golongan yang memiliki pengaruh lebih besar, di masyarakat dengan kekuatan sosial yang pengaruhnya relatif lebih kecil. Jalan menuju kompromis, tak selamanya mulus. Artinya, tak tertutup kemungkinan terjadi konflik atau penggunaan kekerasan. Kompromis berarti ‘genjatan senjata’. Karena, legitimasi reformasi bersumber pada keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas; demokratis.

Dinamika, proses reformasi timbul sebagai akibat dari krisis yang ada di masyarakat. Karena, baik aturan-main ataupun institusi tak berfungsi semestinya. Sehingga pemerintah pun tak sanggup lagi mengatasi berbagai macam problem, yang timbul sebagai akibat dari perubahan sosial. Namun penyebab krisis sesungguhnya, adalah, hubungan timbal balik antara masalah ekonomi dan kesenjangan sosial. Disamping itu, sistim lama terbukti sudah kropos, tak berfungsi. Karena itu, sekelompok masyarakat kemudian mengambil inisiatif. Mereka menggunakan kesempatan (krisis ekonomi), untuk menuntut distribusi kekuasaan. Dengan kata lain, pembagian ‘kue’ yang fair dari pemerintah. Tuntutan itu, kemudian mendapat pengakuan dari masyarakat luas. Dan berkesinambungan. Strategi reformasi jangka panjang disebut reformisme. Yang ber-arti mengantarkan masyarakat kepada kondisi sosial-ekonomis yang lebih baik. Ini bukan berarti, tanpa kendala sama sekali. Malah sebaliknya. Musuh utama reformisme: konservatisme dan komunisme.
Mula mula reformasi bertujuan formal. Merubah struktur masyarakat. Merubah undang-undang atau konstitusi. Mencari akses ke lembaga-lembaga tertentu. Membuat peraturan. Membentuk lembaga-lembaga baru, yang sudah pasti, bertujuan membatasi, kekuasaan, yang tak terkontrol sebelumnya. Karena itu, selama proses reformasi berlangsung: masalah moral, norma, etika serta perubahan prilaku (habitus) terasa semakin penting. Karena itu, yang jelas misalnya, masalah emansipasi wanita, problem minoritas (etnis/religius) dan sebagainya bakal lebih marak - di masa depan.

B. Rumusan Permasalahan
Rumusan permasalahan ini yaitu Bagaimanakah model perubahan suatu negara karena reformasi dalam perspektif konsep perubahan ?

C. Pembahasan

1. Tujuan Reformasi dalam perubahan sosial ekonomis
Negara-negara ‘setengah demokratis’ paling tidak memiliki potensi atau kesempatan untuk menuju perubahan sosial-ekonomis dengan melakukan reformasi, dari atas. Karena, hanya demokrasi yang telah mapan, dengan infrastruktur memadai, memiliki kemungkinkan, melakukan reformasi yang konsekwen.

Tak ada perbedaan antara reformasi dan revolusi. Yang ada perbedaan antara reformasi dan diktatur. Beda dengan dik-tatur, demokrasi, merupakan sebuah bentuk kehidupan bersama yang pas, dinamis, komunikatif dan bisa diperbaiki terus- menerus. Singkatkata, ideal. Sistim yang demokratis memungkinkan setiap proses berkembang wajar. Hanya demokrasi yang sanggup melahirkan struktur elastis. Artinya kekuasaan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial-ekonomis. Hanya demokrasi yang sanggup membatasi kekuasaan. Barangkali demokrasi satu satunya bentuk pemerintahan, yang perlahan lahan (lewat reformasi politik) sanggup membatasi kekuasaan. Pada hakekatnya reformasi dan demokratisasi tak dapat dipisahkan. Karena esensinya sama.

2. Proses-Proses Model Perubahan Negara Indonesia Menuju Reformasi
Dalam pembahasan tentang perubahan sosial penulis ingin meletakkan konsep bersama mengenai perubahan sosial. Menurut Menurut Mac Iver, perubahan sosial (social relationship) merupakan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial . Sedangkan menurut Gillin, perubahan sosial di katakan sebagai satu variasi cara-cara hidup yang diterima dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Yang menarik adalah pendapat dari Selo Soemardjan, perubahan sosial dirumuskan sebagai segala perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan , yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendapat terakhir yang akan kami gunakan sebagai landasan dalam melakukan analisa terhadap proses reformasi tahun 1998.
Proses reformasi pada tahun 1998 telah berdampak besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum. Pertama, yang paling dirasakan dan dapat dilihat dengan jelas adalah jatuhnya rejim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Selama berkuasa, rejim Orde Baru telah menjadi orde kekerasan, yang selalu mengedepankan tindakan represif dalam menjaga kelanggengan kekuasaanya. Mundurnya presiden Soeharto-yang dianggap sebagai simbol Orde baru-telah menjadi tolok ukur dari dari perubahan tersebut. Namun, banyak pula kalangan melihat bahwa mundurnya Soeharto tidak akan memberikan kontribusi terhadap perubahan yang diinginkan
Kedua, seiring dengan jatuhnya rejim orde baru maka berdampak pada struktur pemerintahan. Dalam berbagai tuntutannya, mahasiswa menganggap bahwa struktur pemerintahan di masa rejim Orde baru menjadi instrumen penindasan terhadap masyarakat. Ini jelas sangat dirasakan oleh para mahasiswa yang telah dibungkam melalui pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Selain itu, mahasiswa menilai bahwa aparat negara, militer pada khususnya juga menjadi alat pelanggeng kekuasaan. Oleh karena itu, tuntutan yang muncul dari mahasiswa adalah mengembalikan posisi militer pada fungsinya. Salah satu contoh perubahan adalah pemisahan struktur antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.
Ketiga, perubahan sistem politik di Indonesia. Walaupun sering dikatakan bahwa paham yang dianut oleh sistem politik Indonesia adalah demokrasi, ini jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Perbedaan pendapat-yang kerap kali dianggap menggangu stabilitas-menjadi hal yang haram di masa Orde Baru. Aspirasi politik dari masyarakat kemudian dipersempit dengan sistem tiga partai yang jelas tidak berpihak pada masyarakat.
Seperti yang telah disampaikan diatas, perubahan sosial juga akan mempengaruhi nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam sistem sosial masyarakat. Dalam konteks reformasi pada tahun 1998, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengekangan yang dulu dilakukan oleh Rejim Orde Baru diberbagai sektor berangsur-angsur dihilangkan. Sebagai salah satu contoh adalah kebebasan berpendapat yang dulu menjadi ‘barang mahal’ sekarang relatif lebih terbuka. Kemudian isu tentang nilai-nilai Hak Asasi Manusia kemudian menjadi salah satu indikator dalam pembangunan. Masyarakat yang dulunya apolitis dan cenderung pasif pada sistem politik terdahulu mulai terlibat dalam berbagai kegiatan politik praktis. Sebagai salah satu indikator adalah berdirinya berbagai partai politik di Indonesia.

3. Konsep Perubahan Pada Reformasi Ditinjau oleh Teori Model Perubahan   Tyagi
Pada model perubahan Tyagi perubahan menggunakan pendekatan system dan model pada perubahan organisasi. Jika dihubungkan antara komponen system dalam model perubahan Tyagi dengan konsep reformasi terdahulu adalah:

a).  Adanya kekuatan untuk berubah
Saya melihat bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah sebuah perubahan  dalam bentuk gerakan reformasi dimana perubahan sosial yang terjadi upaya yang berusaha memajukan masyarakat tanpa mengubah struktur dasarnya. Pemaparan saya diatas telah menggambarkan bagaimana proses perubahan tersebut. Gerakan mahasiswa saat itu melihat bahwa untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah pergantian rejim otoriter yang berkuasa dengan menggunakan isu-isu moral pada awalnya. Pemerintah saat itu dianggap tidak perduli bahkan tidak menunjukkan sense of crisis terhadap permasalahan yang dihadapi.. Gerakan mahasiswa di Indonesia kemudian mengalami perubahan dari sebuah gerakan moral menyuarakan masalah-masalah sosial-permasalahan yang sehari-hari dihadapi oleh masyarakat-kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik. Gerakan mahasiswa sebaiknya kembali menjadi gerakan yang mempunyai pandangan lebih mendalam dalam berbagai masalah sosial yang melanda bangsa.

b)  Mengenali dan Mengidentifikasi Masalah
Mahasiswa ketika itu menilai pemerintah sudah tidak bias dipercaya dalam menjalankan kekuasaannya, Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang begitu represif sehingga kondisi perpolitikan nasional menjadi alat yang efektif untuk mematikan aspirasi dan gerakan mahasiswa. Pengekangan tersebut telah membuat mahasiswa-kebanyakan-menjadi kehilangan daya kritisnya terhadap kondisi sosial yang berkembang.

c)  Proses Penyelesaian Masalah
Penyelesaian masalah yang dilakukan mahasiswa dengan  perilaku kolektif yaitu tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi, perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.

d)  Mengimplementasikan Perubahan
Setelah ada nya gerakan perubahan yakni reformasi, terjadi perubahan yang signifikan terhadap system pemerintahan dan struktur kenegaraan. Perubahan ini system organisasi ini memengan inti dari model perubahan Tyagi, tetapin perlu diperhatikan , tingkat kematangan dalanm menjalan suatu Negara yang telah tercover secara otoriter selama 30 tahun untuk menjadi demokarasi sangat lah sulit dilaksanakan dalam waktu singkat, tergantung terhadap daya tahan (resillence) peubahan tersebut didalam pengaruh-pengaruh politik.

e)  Mengukur , Mengevaluasi , dan Mengukur hasil nya  serta factor-faktor  penghambat nya
Penulis menganalisa tentang pengukuran dan mengevaluasi model peubahan yang diikuti oleh peluang terjadi nya perubahan dengan model Tyagi serta tantangan dan hambatannya. Pada dasar nya model perubahan Tyagy yang menggunakan pendekatan perubahan dalam organisasi yang dalam konteks ini adalah organisasi tersebut adalah negara Indonesia, sangat lah baik untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Peluang tercapai nya suatu perubahan pun secara pengukuran oleh pengamatan dapat dikatakan hampir berhasil, karena konsep perubahan dumulai oleh Negara sebagai organisasi. Tetapi untuk pengukuran maksimal dibutuhkan waktu sekitar 20 tahun menurut penulis, karena perubahan suatu negara harus diikuti oleh masyarakat dan aspek-aspek lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, budaya dan lain-lain. Selain itu banyak nya factor penghambat menuju perubahan tersebut seperti (1) stuktur birokrasi yang ada; (2) analisis terhadap proses pemerintahan dan pembangunan; (3) perubahan manajemen sumberdaya aparatur; (4) perubahan relasi antara pemerintah dan masyarakat yang setara; (5) perubahan sistem pengawasan; dan (6) perubahan manajemen Negara.
Enam hal tersebut menjadi penghambat dalam perubahan menurut penulis, oleh karena itu sangat lah wajar jika peluang keberhasilan model perubahan Tyagi yang terjadi pada reformasi dapat dirasakan dalam jangka waktu 20 Tahun. Menurut penulis perubahan pada Negara sangat lah tidak mungkin instan , kita harus memiliki konsep-konsep yang matang dalam proses perubahan. Akhir kata, konsep yang jelas dalam usaha perubahan sosial ada syarat utama dalam membangun kembali Indonesia, perjuangan belum selesai…!!!


 REFRENSI
.Suwarsono dan Alvin Y. So., “Bagan Perbandingan Teori Modernisasi Klasik dengan Teori Dependensi Klasik,” Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta, LP3ES, 1994)

Paul B. Hoton dan Chester L. Hunt, Sociology, Sixth Edition. Alih bahasa oleh Aminuddin Ram dan Tita Sobari (ed)., Sosiologi, Edisi Keenam, (……, Penerbit Erlangga, 1992)

Seokanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta, Rajawali Pers, 1990)

Muridan S Widjojo dan MAshudi Noorsalim, “Perlawanan Petanda, Politik Semiotik Gerakan Mahasiswa, ” Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru (Jakarta, Pusat pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI dan Ford Foundation, 2001)

Senin, 20 Juni 2011

CYBER CRIME DI TINJAU DARI SISTEM HUKUM PEMBUKTIAN INDONESIA

 
 
Adanya kecanggihan teknologi komputer di zaman abad modern ini, memang Sangat bermanfaat bagi manusia.Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya serta memperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer. Namun dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan peralatan komputer yang mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputer.

Usaha mewujudkan cita-cita hukum (rechtside) untuk mensejahterakan masyarakat melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang memiliki peran paling strategis. Dikatakan demikian karena hukum pidana hanya sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku mayarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan melawan hukum

Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di
Cyberspace:

1. Pendekatan teknologi,
2. Pendekatan sosial budaya-etika, dan
3. Pendekatan hukum.

Untuk mengatasi keamanan gangguan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, diintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak. Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalah gunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga Cyber Crime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya.

Dikatakan penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau dalam istilah lain dapat dikenal, “ tiada pidana tanpa kesalahan”. Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bdikaitkan dengan Cyber Crime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Akhirnya dengan melihat pentingnya persoalan pembuktikan dalam Cyber Crime, makalah ini hendak mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Hukum Pembuktian terhadap
Cyber Crime dalam Hukum Pidana Indonesia. Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, bagaimana pembuktian-pembuktian dalam Cyber Crime cukup sulit dilakukan mengingat, bahwa hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku Cyber Crime untuk lepas dari proses pemidaan.

Bentuk-bentuk Cyber Crime pada umumnya yang dikenal dalam masyaakat dibedakan menjadi 3 (tiga) kualifikasi umum, yaitu :

a.Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer

• Illegal access
(akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)
• Data interference
(mengganggu data komputer)
• System interference
(mengganggu sistem komputer)
• Illegal interception in the computers, systems and computer networks operation
(intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer)
• Data Theft
(mencuri data)
• Data leakage and espionage
(membocorkan data dan memata-matai)
• Misuse of devices
(menyalahgunakan peralatan komputer)

b.Kejahatan Dunia Maya yang menggunakan komputer sebagai alat kejahatan

Credit card fraud
(penipuan kartu kredit)
•Bank fraud
(penipuan terhadap bank)
• Service Offered fraud
(penipuan melalui penawaran suatu jasa)
• Identity Theft and fraud
(pencurian identitas dan penipuan)
• Computer-related fraud
(penipuan melalui komputer)
• Computer-related forgery
(pemalsuan melalui komputer)
• Computer-related betting
(perjudian melalui komputer)
•Computer-related Extortion and Threats
(pemerasan dan pengancaman melalui komputer)

c.Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan isi atau muatan data atau sistem komputer

• Child pornography
(pornografi anak)
• Infringements Of Copyright and Related Rights
(pelanggaran terhadap hak cipta dan hak-hak terkait)
• Drug Traffickers
(peredaran narkoba), dan lain-lain.

Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri; yakni bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.Selain itu, perkembangan hukum di Indonesia terkesan lambat, karena hukum hanya akan berkembang setelah ada bentuk kejahatan baru.

Jadi hukum di Indonesia tidak ada kecenderungan yang mengarah pada usaha preventif atau pencegahan, melainkan usaha penyelesaiannya setelah terjadi suatu akibat hukum. Walaupun begitu, proses perkembangan hukum tersebut masih harus mengikuti proses yang sangat panjang, dan dapat dikatakan, setelah negara menderita kerugian yang cukup besar, hukum tersebut baru disahkan. Kebijakan hukum nasional kita yang kurang bisa mengikuti perkembangan kemajuan teknologi tersebut, justru akan mendorong timbulnyakejahatan-kejahatan baru dalam masyarakat yang belum dapat dijerat dengan menggunakan hukum yang lama. Padahal negara sudah terancam dengan kerugian yang sangat besar, namun tidak ada tindakan yang cukup cepat dari para pembuat hukum di Indonesia untuk mengatasi masalah tersebut.


A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu strafboarfeit. Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal act. Oleh karena itu KUHP Indonesia bersumber pada Wetbook van strafrecht Belanda, maka memakai istilah aslinya pun sama yaitu Strafboarfeit.Strafboarfeit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat dihukum.Srafbartfeit sama pengertiannya dengan Peristiwa pidana/ perbuatan pidana/Tindak pidana /danDelik.

Kemudian pemakaian istilah tindak pidana dan kejahatan seringkali mengalami kerancuan dan tumpang tindih dalam pemakaian istilah ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah yang dipakai dalam rumusan pasal pasal yang ada dalam rumusan KUHP adalah istilah tindak pidana.

Dalam hukum pidana sendiri istilah tindak pidana dikenal dengan strafbarfeit dan memiliki penjelasan yang berbeda beda akan tetapi intinya sama yaitu peristiwa pidana atau sebagai tindak pidana. Menurut Van Hamel,strafbarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet atau undang-undang yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

Menurut P. Simons yang menggunakan istilah peristiwa pidana adalah perbuatan atau tindakan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Simon memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana dan tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (crime act) tindak pidana dengan unsur yang melekat pada aliran tinddak pidana (criminal responsibility atau criminal liability atau pertanggung jawaban pidana). Kemudian dia menyebut unsur unsur tindak pidana, yaitu perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawabUnsur-unsur tersebut oleh simon dibedakan antara unsur obyektif dan unsur subyektif. Yang termasuk unsur obyektif adalah : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertainya. Unsur subyektif adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan

Moeljatno memberikan pengertian tentang perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (Moeljatno, 1987,Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal 569 asruchin Ruba’i - Made S. Astuti Djajuli, 1989,Hukum pidana I, Malang, hal 35 xviii(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejadian itu10. Moeljatno memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility yang menjadi unsur tindak pidana.Menurut Moeljatno hanyalah unsur-unsur yang melekat pada criminal act (perbuatan yang dapat dipidana). Sedangkan yang termasuk unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan (manusia), memenuhi rumusan Undang-undang, bersifat melawan hukum

B. PENGAMANAN TELEKOMUNIKASI MENURUT UNDANG-UNDANGNOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI

Pasal 40 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”

Pasal tersebut diciptakan dengan maksut dan tujuan untuk mencegah, menghentikan dan menghukum para pelaku kejahatan melalui sarana telekomunikasi. Adanya landasan hukum tersebut masyarakat dapat melaporkan tindak kejahatan yang dilakukan melalui alat-alat telekomunikasi.

C. KOMPUTER

Institut Komputer Indonesia mendefinisikan komputer sebagai berikut: “Suatu rangkaian peralatan-peralatan dan fasilitas yang bekerja secara elektronis, bekerja dibawah kontrol statu operating system, melaksanakan pekerjaan berdasarkan rangkaian instruksi-instruksi yang disebut program serta mempunyai internal storage yang digunakan untuk menyimpan operating system, program dan data yang diolah.”

Operating system berfungsi untuk mengatur dan mengkontrol sumber daya yang ada, baik dari hardware berupa komputer,Central Processing Unit (CPU) dan memory/storage
serta software komputer yang berupa program-program komputer yang dibuat oleh programmer
Jenis-jenis Oerating System ntara lain PC-DOS (Personal Computer Disk Operating System), MS-DOS (Microsoft Disk Operating System), Unix, Microsoft Windows, dan lain-lain.

D. INTERNET

Internet adalah Sistem informasi global yang menghubungan berbagai jaringan komputer secara bersama-sama dalam suatu ruang global berbasis Internet Protocol.Internet merupakan jaringan luas dari komputer yang lazim disebut dengan orldwide network. Internet merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan komputer ini dapat berukuran kecil seperti

Institut Komputer Indonesia (IKI), 1981,Pengenalan Komputer (Introduction to Computer), hal. 1, dikutip dari Andi Hamzah, Loc. cit..xxLokal Area Network(LAN) yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan atau biasa disebut dengan intranet, dapat juga berukuran superbesar seperti internet.The Federal Networking Council (FNC) memberikan definisi mengenai internet dalam resolusinya tanggal 24 Oktober 1995 sebagai berikut:
“Internet refers to the global information system that –i.is logically linked together by a globally unique address space based in theInternet Protocol (IP) or its subsequent extensions/follow-ons;ii.is able to support communications using the Transmission ControlProtocol/Internet Protocol (TCP/IP) suite or its subsequent extension/followons,and/or other Internet Protocol )IP)-compatibleprotocols; andiii.Providers, uses or makes accessible, either publicly or privately, high levelservices layered on the communications and related infrastructure described herein.”

E. PENGERTIAN INFORMASI, TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)

Dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan, bahwa Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik.Tidak terbatas pada trbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah dioleh yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

F. PENGERTIAN PEMBUKTIAN DAN HUKUM PEMBUKTIAN

Menurut R. Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka Hakim atau Pengadilan. Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa pembuktian mengandung beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis.Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian dalam arti mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti.

Untuk membuktikan dalam arti konvensional, disinipun membuktikan berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya. Dan membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan demikian membuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi.

Hukum Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk memerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin atau ajaran, dan jurisprudensi. Karena hukum pembuktian bagian dari hukum acara pidana, makasumber hukum yang pertama adalah Undang-undang nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.Alat bukti adalah segala seuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai pembuktian guna menbimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah :

a.Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakanusaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

b.Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakanusaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut di sebut bukti kebalikan.

c.Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh negara.Menurut Drs. Adami Chazawi, SH.,MH., yang dimaksud dengan mencari bukti sesungguhnya adalah mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian dinilai oleh pejabat penyelidik untuk menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana ataukan tidak. Bagi penyidik, bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan, apakakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya.

G. PENGERTIAN ALAT BUKTI MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain dalam pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan :
“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :
a.alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b.alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”

H. KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBER CRIME)

Kejahatan adalah perbuatan merugikan orang lain dan/atau sekelompok orang dan/atau instasi yang dilakukan dengan bertujuan untuk menguntungkandiri sendiri, baik secara materi maupun kejiwaannya. Kejahatan dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas apapun sebagai alat untuk nelakukan perbuatannya, termasuk di dalamnya adalah perangkat Informasi dan Transaksi Elektronik, contohnya seperti komputer,credit card, televisi, dan lain sebagainya.Istilah cyberspace uncul pertama kali dari novel William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984.
Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon Perry Barlow pada tahun 1990.Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir. CambridgeAdvanced Learner's Dictionary memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet considered as an imaginary area without limits where you can meet people and discover information about any subject”

The American Heritage Dictionary of English Language Fourth Edition
mendefinisikan cyberspace sebagai “the electronic medium of computer networks, in which online communication takes place”. Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet. Bruce Sterling mendefinisikan cyberspace sebagai the ‘place’ where a telephone conversation appears to occur
Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) merupakan suatu tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan mediasi dunia maya atau Virtual World , salah satunya adalah melalui internet. Perbuatan melawan hukum dalam dunia maya sangat tidak mudah untuk diatasi denganmengandalkan hukum positif konvensional. Indonesia saat ini sudah merefleksikan diri dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa yang secara serius mengintegrasikan regulasi Hukum Siber ke dalam instrumen hukum positif nasionalnya.Cyber Law atau disebut juga Hukum Siber adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dunia maya, yang secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab. Sebutan Hukum Siber di beberapa negara lain adalah Law OfInformation Technology, Virtual World Law dan Hukum Mayantara.Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab yang berbasis virtual atau maya.Istilah Hukum Siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran, bahwa cyber jika diidentikan dengan dunia maya akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat atau semu.

I. BENTUK-BENTUK CYBER CRIME

Cyber Crime yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer:

a.Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)

Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lain.Hacking merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.Perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer belum ada diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pa22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menyatakan: “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :

-Akses ke jaringan telekomunikasi; dan/atau
-Akses ke jasa telekomunikasi; dan/atau
-Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

”Pasal 50 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Namun setelah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik diundangkan, pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sudah tidak perlu digunakan lagi. Karena pasal 30 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sudah mampu menjerat pelaku.Dalam pasal 30 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan, bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau sistem Elektronik Milik orang lain (ayat 1) dengan cara apa pun, (ayat 2) dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumenelektronik, (ayat 3) dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.” Ketentuan pidana pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik diatur dalam pasal 46 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. untuk ayat 1, ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan ayat 2 pasal 46 memberikan ketentuan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).Untuk ayat 3, ketentuan pidanannya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

b.Data Interference (mengganggu data komputer)

Yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan merusak, menghapus, memerosotkan (deterioration ), mengubah atau menyembunyikan (suppression ) data komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan virus komputer merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering terjadi.Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam cyber crime . Jika perbuatan data interference dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat 1 KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronikmilik orang lain atau milik publik.”
Isi dari pasal tersebut di atas dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan tersebut, karena unsur-unsur pidananya telah terpenuhi.Ketentuan Pidananya diatur dalam pasal 28 ayat 1Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

c.System Interference (mengganggu sistem komputer)

Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara memasukkan, memancarkan, merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan data komputer. Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan E-mail bombings (surat elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam cyber crime . Jika perbuatan data interference
dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat (1) KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.Namun tidak demikian apabila yang rusak hanya sistem atau data dari komputer tersebut. Untuk kerusakan pada sistem, dasar hukumnya diatur dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”
Kemudian untuk ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak 10.000.000,000,00 (sepuluh miliar rupiah).

d.Illegal Interception In The Computers, Systems And Computer Networks Operation (intersepsi secara tidak sah)


PUSTAKA

Bandung : PT Alumni, 2006.Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya PencegahanKejahatan Berteknologi Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Ahmad M Ramli, Prinsip-prisnsip Cyber Law Dan kendala HukumPositif Dalam Menanggulangi Cyber Crime, FakultasHukum Universitas Padjajaran, Jakarta, Desember 2004.

Ahmad Suwandi dan B. Ryanto Setyo, “Menabur entuh,Menuai Software Tangguh”, PC Media 08/2004.

Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika,Jakarta,1990.

Bambang Sunggono,Metodologi penelitian hukum, Rajawali Press.Jakarta,2005.

Lxx Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,Mandar Maju. Bandung. 2003

Laporan Akhir Penelitian, Kementrian Komunikasi Dan Informasi, Jakarta,November 2003.
Moch. Safar Hayim, Mengenali Undang-undang Media Dan Siber, Refika Aditama.2002.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2005.

Saifudin Aswar, Metode Penelitian , Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003.

S‘to, “ Seni Internet Hacking Uncencored”, Jasakom, 2004.
______________, “ Kajian Hukum Tentang Kejahatan Di Dunia Maya(Cyber Crime)”
Peraturan Perundang-undangan
“Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN 1999-2004 TAP MPR NO. IV/MPR/1999”, 1999, Sinar Grafika, Jakarta.Kejaksaan Republik Indonesia, 1998, “Himpunan Peraturan tentang TugasDan Wewenang Kejaksaaan”, Buku II, diterbitkan oleh Kejaksaan Agung R.I.,Jakarta.Moeljatno, 1994, “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, cetakankesembilanbelas, Bumi Aksara, Jakarta.Soenarto Soerodibroto, 2000, “KUHP dan KUHAP”, Edisi keempat, cetakankelima, PT RajaGrafindo Persada,Jakarta.Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, 2000,cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan TransaksiElektronik (ITE), Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia,
lxxiian, jurnal, majalah, dan media publikasi lain
Muladi, 22 Agustus 2002,
“Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime”,
Media Hukum Vol. 1 No. 3, Persatuan Jaksa Republik Indonesia.Pattiradjawane, Rene L.,
“Media Konverjensi dan Tantangan Masa Depan”,
 
Sumber : http://advokatpurwadi.blogspot.com

MEMBEDAH HUKUM PROGRESIF



“MEMBEDAH HUKUM PROGRESIF”

“Negara hukum yang dilahirkan tahun 1945 adalah suatu proyek besar. Sebagai proyek ia tidak begitu saja serta merta menjadi, melainkan sesuatu yang terus menerus perlu dibangun, mewujud nyata.”(Satjipto Rahardjo, 2007)

Mafia Peradilan. Korupsi kekuasaan. Isu suap di Mahkamah Agung. Demikian banyak persoalan yang melanda penegakan hukum di Indonesia dan tidak pernah tuntas. Mengapa? Karena penegak hukum dan semua elemen masyarakat tidak berani keluar dari alur tradisi penegakkan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan.

Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang membeku dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa. (Rahardjo. 2007: 10-11). Hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup (living law) dalam interaksi masyarakat. Kualitas penegakan hukum itu beda-beda. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi. Sementara dibanyak negara ada yang melakukan penegakan hukum secara lunak dan bahkan bisa dikomersilkan dengan istilah yang lebih kasar adalah jual beli hukum. Di Indonesia, hukum oleh beberapa kalangan, dianggap sebuah virus yang membuat masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menghindar. Dapat dilihat dengan terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan.

Hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Karl Ranner menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”.

http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html)

Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau di kala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Dengan kata lain bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pandangan ini adalah pandangan yang menolak logosentris dengan berpaling pada antoposentis yang humanis. Dengan memperhatikan masyarakat, maka hukum akan terus hidup (living) dalam masyarakat. Dapat dibilang hukum itu menjadi progresif.

Hukum Progresif dan Hukum yang Demokratis

Prof. Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun 2002 menyatakan bahwa Hukum yang Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Prof Tjip secara ringkas memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. (Rahardjo. Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dia dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menseriusi Hukum Progresif muncul, namun belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan perasaan kepedulian (senziting concept). Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) tapi bila akan mengeras menjadi barikade tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional, barangkali dengan institusional yang kultural. Dalam situasi “normal” saja hukum banyak dikenal sebagai institusi yang mahal, apalagi dalam keadaan krisis dan keterpurukan bangsa sekarang. Ia menjadi mahal, karena hukum modern banyak bertumpu pada prosedur, birokrasi dan sebagainya. Belum lagi ditambahkan sifat liberal dan kapitalistik hukum modern. Pada titik inilah terjadi banyak keluhan, hukum sudah menjadi obyek bisnis. Hukum tidak lagi bisa diandalkan menjadi tempat untuk mencari dan menemukan keadilan.

Hukum tidak boleh dibiarkan menjadi ranah esoterik, yang hanya boleh dan bisa dimasuki para lawyer sekalian pikirannya yang spesialistis, yang biasanya berkutat pada “peraturan dan logika”. Hingga kini, cara berpikir dan menjalankan hukum seperti itu masih dominan, yang dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Dengan berpikir seperti itu praktek hukum hanya dibatasi ranah peraturan dan logika peraturan. Tidak! Hukum juga perlu ditarik keluar memasuki ranah kehidupan sehari-hari dengan sekalian harapan, keresahan, dan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, hukum tidak boleh hanya menjadi permainan kata-kata, tetapi perlu bermakna sosial. Hukum yang anti-progresif tidak berpikir sejauh itu. Mereka hanya berpikir, supremasi hukum sudah diwujudkan dengan memperlihatkan kesibukan menerapkan peraturan dengan menggunakan logika. Tidak bisa! Bila ini yang terjadi, tidak ada gunanya kita mempromosikan supremasi hukum, karena hukum hanya akan menjadi permainan para lawyer dan elite politik, jauh dari memberi kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan kepada rakyat. Bahkan lebih dari itu supremasi hukum menjadi safe haven, tempat berlindung yang aman bagi para koruptor. Dan itu sudah terjadi melalui tontonan tentang bagaimana hukum sulit menangani korupsi di negeri ini.

Hukum tidak ingin hanya menjadi monopoli para lawyer, tetapi ingin bersosialisasi, berjabatan tangan dengan rakyat, ingin memberi jasa sosial kepada rakyatnya. Ia ingin bermakna mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya (bringing justice to the people). Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.

Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. (http://perancangprogresif. blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html).

Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari dan perbuatannya di dalam hukum. Faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk member tempat kepada hukum. Ide penegakan hukum progresif adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-manusialah yang berperan lebih penting. (Rahardjo. 2007: xix).

Dengan demikian, hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Para pembentuknyapun harus memperhatikan secara cermat kebutuhan masyarakat, memperhatikan hukum yang memang sudah ada di masyarakat. Sehingga, selain hukum yang akan terlahir adalah living law, juga hukum yang demokratis di negara hukum Indonesia ini akan segera mewujud nyata.

PENUTUP

Intinya, di berbagai tingkatan teritori, hukum masih bermasalah. Penulis buku “Membedah Hukum Progresif” (Kompas, Jakarta), Satjipto Rahardjo (2006: xix) dalam bahasa yang lugas, melukiskan, “Fakultas-fakultas hukum memang dituntut untuk menghasilkan lawyers yang handal secara profesional, tetapi pengalaman di negeri kita, itu saja belum cukup. Meminjam perumpamaan yang dibuat oleh Gerry Spence, seorang advokat senior di Amerika Serikat yang sangat peduli dengan kualitas penyelenggaraan hukum di negerinya, ‘pelana kuda seharga sepuluh ribu dollar’. Kelemahan lawyers di Amerika bukan disebabkan oleh profesionalnya, melainkan disebabkan oleh kualitasnya sebagai manusia (their incompetence begins not as lawyers, but as human beings). Pendidikan hukum Indonesia sebaiknya juga tak hanya mengejar produksi pelana kuda yang mahal, melainkan lebih daripada itu, juga kuda-kuda yang berharga jauh lebih mahal dari pelananya.”

Ada catatan penting yang diberikan Satjipto, bahwa faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk lebih memberi tempat kepada hukum. Salah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum, menurut Satjipto, adalah dengan ide (penegakan) hukum progresif. Catatan penting lain yang diberikan Satjipto (2006: 1) dalam “Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), bahwa berbicara ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Hal ini menggambarkan betapa ilmu ini sangat luas karena bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan. Di samping itu, pada saat yang sama, berbagai aspek itu masih pula tidak bias dibatasi dengan wilayah teritori, baik lokal, kawasan, nasional, maupun global.

Maka tawaran hukum progresif, dalam konteks Indonesia, bagi Satjipto, didasari oleh keprihatinan terhadap rendahnya kontribusi ilmu hukum Indonesia dalam turut mencerahkan bangsa ini untuk keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Satjipto (2006: 2-3) mengingatkan, “Ilmu hukum progresif melampaui pikiran sesaat dan karena itu juga memiliki nilai-nilai ilmiah tersendiri, artinya ia bias diproyeksikan dan dibicarakan dalam konteks keilmuan secara universal. Karena itu, ilmu hukum progresif dihadapkan kepada dua medan (front), yaitu Indonesia dan dunia. Ilmu hukum tak bias bersifat steril dan mengisolasi diri dari sekalian perubahan yang terjadi di dunia“.

Dalam buku tersebut, Satjipto kembali mengingatkan bahwa bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia, sedang pada ilmu praktis, manusia adalah lebih untuk hukum dan logika hukum.

Dalam buku tersebut, Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan  hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum  mengaktualisasikan hukum dalam ruang  dan waktu yang tepat. Para pelaku hukumprogresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus  menunggu perubahanperaturan (changing the law. Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para  pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.

Untuk itu agar hukum  dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa  pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam for a kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya. Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa  secara langsung  ditemukan lewat  proses  logis–formal. Keadilan  justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” asesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis – formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karma itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan tang berada di luar dirinya.

B. Seharusnya Yang Kita Lakukan.

Apa yang menjadi kegalauan Prof. Satjipto Rahardjo terbukti antara laian susahnya penyelesaian kasus Lumpur Lapindo, tertangkapnya Jaksa Urip dalam dugaan suap kasus  BLBI, dugaan penyuapan Anggota Dewan yang mengubah peruntukan lahan tertentu (lihah penangkapan anggita dewan al amin)  dan masih banyak lagi kasus hukum yang tidak dapat ditegakan karena hukum kita tidak menjangkau karena hebatnya teknologi dan komunikasi sehingga perbuatan hukum tersebut tidak bisa dijerat dengan ketentuan yang ada atau prasarana hukumnya tidak memadai.

Sehubungan dengan teori progresif tersebut, seharusnya atas kondisi tersebut jangan dibiarkan saja dan hal ini akan membuat pelaku kecurangan dan pelanggran terhadap hukum akan terus terjadi karena lemahnya penegakan hukum khususnya. Untuk itu perlunya ada langkah progresif dari Pemerintah  yang memberikan penyelengaraan hukum di Indonesia  diberikan dirinya  kewewenang untuk melakukan investigasi judicial dan terobosan-terbosan yang progesif sesuai dengan  teori yang digagaskan oleh Prof. Satjito Rahardjo. Alasan kewenangan judicial tersebut adalah karena saat ini banyak modus kejahatan dan kecurangan dengan cara yang canggih  dan memerlukan keahlian khusus untuk dapat  menyeret pelakunya ke pengadilan. Dalam rangka meminimalisasikan kemungkinan kejahatan dan kecurangan, dalam penegakan hukum penyelengaraan hukum  yang progresif atas investegasi, pengenaan sanksi yang ketat dan tegas bagi siapa melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan tersebut terutama bagi siapa saja yang terlibat dalam aktifitas rekayasa hukum tersebut. Selain itu perlunya ada sikap bersama  dari penyelengaraan hukum untuk menanggulangi masalah tersebut  dan perlunya peningkatan mutu dari Sumber Daya Manusianya penyelengara hukum di Indonesia. Saya selaku penulis, mencoba merangkum teori ini dan menyadari betul banyak kekurannya. Namun atas rangkuman ini semoga dapat berguna bagi kita semua guna menambah wawasan dan pengetahuan.

by: http://herywelar.wordpress.com/2009/11/14/resensi-hukum-progresif-satjipto-rahardjo/.