Adanya kecanggihan teknologi komputer di zaman abad modern ini, memang Sangat bermanfaat bagi manusia.Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya serta memperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer. Namun dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan peralatan komputer yang mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputer.
Usaha mewujudkan cita-cita hukum (rechtside) untuk mensejahterakan masyarakat melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang memiliki peran paling strategis. Dikatakan demikian karena hukum pidana hanya sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku mayarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan melawan hukum
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di
Cyberspace:
1. Pendekatan teknologi,
2. Pendekatan sosial budaya-etika, dan
3. Pendekatan hukum.
Untuk mengatasi keamanan gangguan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, diintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak. Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalah gunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga Cyber Crime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya.
Dikatakan penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau dalam istilah lain dapat dikenal, “ tiada pidana tanpa kesalahan”. Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bdikaitkan dengan Cyber Crime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Akhirnya dengan melihat pentingnya persoalan pembuktikan dalam Cyber Crime, makalah ini hendak mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Hukum Pembuktian terhadap
Cyber Crime dalam Hukum Pidana Indonesia. Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, bagaimana pembuktian-pembuktian dalam Cyber Crime cukup sulit dilakukan mengingat, bahwa hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku Cyber Crime untuk lepas dari proses pemidaan.
Bentuk-bentuk Cyber Crime pada umumnya yang dikenal dalam masyaakat dibedakan menjadi 3 (tiga) kualifikasi umum, yaitu :
a.Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer
• Illegal access
(akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)
• Data interference
(mengganggu data komputer)
• System interference
(mengganggu sistem komputer)
• Illegal interception in the computers, systems and computer networks operation
(intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer)
• Data Theft
(mencuri data)
• Data leakage and espionage
(membocorkan data dan memata-matai)
• Misuse of devices
(menyalahgunakan peralatan komputer)
b.Kejahatan Dunia Maya yang menggunakan komputer sebagai alat kejahatan
Credit card fraud
(penipuan kartu kredit)
•Bank fraud
(penipuan terhadap bank)
• Service Offered fraud
(penipuan melalui penawaran suatu jasa)
• Identity Theft and fraud
(pencurian identitas dan penipuan)
• Computer-related fraud
(penipuan melalui komputer)
• Computer-related forgery
(pemalsuan melalui komputer)
• Computer-related betting
(perjudian melalui komputer)
•Computer-related Extortion and Threats
(pemerasan dan pengancaman melalui komputer)
c.Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan isi atau muatan data atau sistem komputer
• Child pornography
(pornografi anak)
• Infringements Of Copyright and Related Rights
(pelanggaran terhadap hak cipta dan hak-hak terkait)
• Drug Traffickers
(peredaran narkoba), dan lain-lain.
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri; yakni bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.Selain itu, perkembangan hukum di Indonesia terkesan lambat, karena hukum hanya akan berkembang setelah ada bentuk kejahatan baru.
Jadi hukum di Indonesia tidak ada kecenderungan yang mengarah pada usaha preventif atau pencegahan, melainkan usaha penyelesaiannya setelah terjadi suatu akibat hukum. Walaupun begitu, proses perkembangan hukum tersebut masih harus mengikuti proses yang sangat panjang, dan dapat dikatakan, setelah negara menderita kerugian yang cukup besar, hukum tersebut baru disahkan. Kebijakan hukum nasional kita yang kurang bisa mengikuti perkembangan kemajuan teknologi tersebut, justru akan mendorong timbulnyakejahatan-kejahatan baru dalam masyarakat yang belum dapat dijerat dengan menggunakan hukum yang lama. Padahal negara sudah terancam dengan kerugian yang sangat besar, namun tidak ada tindakan yang cukup cepat dari para pembuat hukum di Indonesia untuk mengatasi masalah tersebut.
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu strafboarfeit. Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal act. Oleh karena itu KUHP Indonesia bersumber pada Wetbook van strafrecht Belanda, maka memakai istilah aslinya pun sama yaitu Strafboarfeit.Strafboarfeit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat dihukum.Srafbartfeit sama pengertiannya dengan Peristiwa pidana/ perbuatan pidana/Tindak pidana /danDelik.
Kemudian pemakaian istilah tindak pidana dan kejahatan seringkali mengalami kerancuan dan tumpang tindih dalam pemakaian istilah ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah yang dipakai dalam rumusan pasal pasal yang ada dalam rumusan KUHP adalah istilah tindak pidana.
Dalam hukum pidana sendiri istilah tindak pidana dikenal dengan strafbarfeit dan memiliki penjelasan yang berbeda beda akan tetapi intinya sama yaitu peristiwa pidana atau sebagai tindak pidana. Menurut Van Hamel,strafbarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet atau undang-undang yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Menurut P. Simons yang menggunakan istilah peristiwa pidana adalah perbuatan atau tindakan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Simon memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana dan tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (crime act) tindak pidana dengan unsur yang melekat pada aliran tinddak pidana (criminal responsibility atau criminal liability atau pertanggung jawaban pidana). Kemudian dia menyebut unsur unsur tindak pidana, yaitu perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawabUnsur-unsur tersebut oleh simon dibedakan antara unsur obyektif dan unsur subyektif. Yang termasuk unsur obyektif adalah : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertainya. Unsur subyektif adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan
Moeljatno memberikan pengertian tentang perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (Moeljatno, 1987,Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal 569 asruchin Ruba’i - Made S. Astuti Djajuli, 1989,Hukum pidana I, Malang, hal 35 xviii(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejadian itu10. Moeljatno memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility yang menjadi unsur tindak pidana.Menurut Moeljatno hanyalah unsur-unsur yang melekat pada criminal act (perbuatan yang dapat dipidana). Sedangkan yang termasuk unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan (manusia), memenuhi rumusan Undang-undang, bersifat melawan hukum
B. PENGAMANAN TELEKOMUNIKASI MENURUT UNDANG-UNDANGNOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI
Pasal 40 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”
Pasal tersebut diciptakan dengan maksut dan tujuan untuk mencegah, menghentikan dan menghukum para pelaku kejahatan melalui sarana telekomunikasi. Adanya landasan hukum tersebut masyarakat dapat melaporkan tindak kejahatan yang dilakukan melalui alat-alat telekomunikasi.
C. KOMPUTER
Institut Komputer Indonesia mendefinisikan komputer sebagai berikut: “Suatu rangkaian peralatan-peralatan dan fasilitas yang bekerja secara elektronis, bekerja dibawah kontrol statu operating system, melaksanakan pekerjaan berdasarkan rangkaian instruksi-instruksi yang disebut program serta mempunyai internal storage yang digunakan untuk menyimpan operating system, program dan data yang diolah.”
Operating system berfungsi untuk mengatur dan mengkontrol sumber daya yang ada, baik dari hardware berupa komputer,Central Processing Unit (CPU) dan memory/storage
serta software komputer yang berupa program-program komputer yang dibuat oleh programmer
Jenis-jenis Oerating System ntara lain PC-DOS (Personal Computer Disk Operating System), MS-DOS (Microsoft Disk Operating System), Unix, Microsoft Windows, dan lain-lain.
D. INTERNET
Internet adalah Sistem informasi global yang menghubungan berbagai jaringan komputer secara bersama-sama dalam suatu ruang global berbasis Internet Protocol.Internet merupakan jaringan luas dari komputer yang lazim disebut dengan orldwide network. Internet merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan komputer ini dapat berukuran kecil seperti
Institut Komputer Indonesia (IKI), 1981,Pengenalan Komputer (Introduction to Computer), hal. 1, dikutip dari Andi Hamzah, Loc. cit..xxLokal Area Network(LAN) yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan atau biasa disebut dengan intranet, dapat juga berukuran superbesar seperti internet.The Federal Networking Council (FNC) memberikan definisi mengenai internet dalam resolusinya tanggal 24 Oktober 1995 sebagai berikut:
“Internet refers to the global information system that –i.is logically linked together by a globally unique address space based in theInternet Protocol (IP) or its subsequent extensions/follow-ons;ii.is able to support communications using the Transmission ControlProtocol/Internet Protocol (TCP/IP) suite or its subsequent extension/followons,and/or other Internet Protocol )IP)-compatibleprotocols; andiii.Providers, uses or makes accessible, either publicly or privately, high levelservices layered on the communications and related infrastructure described herein.”
E. PENGERTIAN INFORMASI, TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)
Dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan, bahwa Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik.Tidak terbatas pada trbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah dioleh yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
F. PENGERTIAN PEMBUKTIAN DAN HUKUM PEMBUKTIAN
Menurut R. Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka Hakim atau Pengadilan. Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa pembuktian mengandung beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis.Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian dalam arti mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti.
Untuk membuktikan dalam arti konvensional, disinipun membuktikan berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya. Dan membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan demikian membuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi.
Hukum Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk memerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin atau ajaran, dan jurisprudensi. Karena hukum pembuktian bagian dari hukum acara pidana, makasumber hukum yang pertama adalah Undang-undang nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.Alat bukti adalah segala seuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai pembuktian guna menbimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah :
a.Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakanusaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
b.Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakanusaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut di sebut bukti kebalikan.
c.Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh negara.Menurut Drs. Adami Chazawi, SH.,MH., yang dimaksud dengan mencari bukti sesungguhnya adalah mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian dinilai oleh pejabat penyelidik untuk menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana ataukan tidak. Bagi penyidik, bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan, apakakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya.
G. PENGERTIAN ALAT BUKTI MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain dalam pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan :
“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :
a.alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b.alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”
H. KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBER CRIME)
Kejahatan adalah perbuatan merugikan orang lain dan/atau sekelompok orang dan/atau instasi yang dilakukan dengan bertujuan untuk menguntungkandiri sendiri, baik secara materi maupun kejiwaannya. Kejahatan dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas apapun sebagai alat untuk nelakukan perbuatannya, termasuk di dalamnya adalah perangkat Informasi dan Transaksi Elektronik, contohnya seperti komputer,credit card, televisi, dan lain sebagainya.Istilah cyberspace uncul pertama kali dari novel William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984.
Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon Perry Barlow pada tahun 1990.Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir. CambridgeAdvanced Learner's Dictionary memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet considered as an imaginary area without limits where you can meet people and discover information about any subject”
The American Heritage Dictionary of English Language Fourth Edition
mendefinisikan cyberspace sebagai “the electronic medium of computer networks, in which online communication takes place”. Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet. Bruce Sterling mendefinisikan cyberspace sebagai the ‘place’ where a telephone conversation appears to occur
Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) merupakan suatu tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan mediasi dunia maya atau Virtual World , salah satunya adalah melalui internet. Perbuatan melawan hukum dalam dunia maya sangat tidak mudah untuk diatasi denganmengandalkan hukum positif konvensional. Indonesia saat ini sudah merefleksikan diri dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa yang secara serius mengintegrasikan regulasi Hukum Siber ke dalam instrumen hukum positif nasionalnya.Cyber Law atau disebut juga Hukum Siber adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dunia maya, yang secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab. Sebutan Hukum Siber di beberapa negara lain adalah Law OfInformation Technology, Virtual World Law dan Hukum Mayantara.Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab yang berbasis virtual atau maya.Istilah Hukum Siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran, bahwa cyber jika diidentikan dengan dunia maya akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat atau semu.
I. BENTUK-BENTUK CYBER CRIME
Cyber Crime yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer:
a.Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)
Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lain.Hacking merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.Perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer belum ada diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pa22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menyatakan: “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
-Akses ke jaringan telekomunikasi; dan/atau
-Akses ke jasa telekomunikasi; dan/atau
-Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
”Pasal 50 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Namun setelah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik diundangkan, pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sudah tidak perlu digunakan lagi. Karena pasal 30 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sudah mampu menjerat pelaku.Dalam pasal 30 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan, bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau sistem Elektronik Milik orang lain (ayat 1) dengan cara apa pun, (ayat 2) dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumenelektronik, (ayat 3) dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.” Ketentuan pidana pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik diatur dalam pasal 46 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. untuk ayat 1, ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan ayat 2 pasal 46 memberikan ketentuan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).Untuk ayat 3, ketentuan pidanannya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
b.Data Interference (mengganggu data komputer)
Yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan merusak, menghapus, memerosotkan (deterioration ), mengubah atau menyembunyikan (suppression ) data komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan virus komputer merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering terjadi.Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam cyber crime . Jika perbuatan data interference dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat 1 KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronikmilik orang lain atau milik publik.”
Isi dari pasal tersebut di atas dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan tersebut, karena unsur-unsur pidananya telah terpenuhi.Ketentuan Pidananya diatur dalam pasal 28 ayat 1Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
c.System Interference (mengganggu sistem komputer)
Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara memasukkan, memancarkan, merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan data komputer. Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan E-mail bombings (surat elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam cyber crime . Jika perbuatan data interference
dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat (1) KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.Namun tidak demikian apabila yang rusak hanya sistem atau data dari komputer tersebut. Untuk kerusakan pada sistem, dasar hukumnya diatur dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”
Kemudian untuk ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak 10.000.000,000,00 (sepuluh miliar rupiah).
d.Illegal Interception In The Computers, Systems And Computer Networks Operation (intersepsi secara tidak sah)
PUSTAKA
Bandung : PT Alumni, 2006.Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya PencegahanKejahatan Berteknologi Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Ahmad M Ramli, Prinsip-prisnsip Cyber Law Dan kendala HukumPositif Dalam Menanggulangi Cyber Crime, FakultasHukum Universitas Padjajaran, Jakarta, Desember 2004.
Ahmad Suwandi dan B. Ryanto Setyo, “Menabur entuh,Menuai Software Tangguh”, PC Media 08/2004.
Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika,Jakarta,1990.
Bambang Sunggono,Metodologi penelitian hukum, Rajawali Press.Jakarta,2005.
Lxx Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,Mandar Maju. Bandung. 2003
Laporan Akhir Penelitian, Kementrian Komunikasi Dan Informasi, Jakarta,November 2003.
Moch. Safar Hayim, Mengenali Undang-undang Media Dan Siber, Refika Aditama.2002.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2005.
Saifudin Aswar, Metode Penelitian , Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003.
S‘to, “ Seni Internet Hacking Uncencored”, Jasakom, 2004.
______________, “ Kajian Hukum Tentang Kejahatan Di Dunia Maya(Cyber Crime)”
Peraturan Perundang-undangan
“Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN 1999-2004 TAP MPR NO. IV/MPR/1999”, 1999, Sinar Grafika, Jakarta.Kejaksaan Republik Indonesia, 1998, “Himpunan Peraturan tentang TugasDan Wewenang Kejaksaaan”, Buku II, diterbitkan oleh Kejaksaan Agung R.I.,Jakarta.Moeljatno, 1994, “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, cetakankesembilanbelas, Bumi Aksara, Jakarta.Soenarto Soerodibroto, 2000, “KUHP dan KUHAP”, Edisi keempat, cetakankelima, PT RajaGrafindo Persada,Jakarta.Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, 2000,cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan TransaksiElektronik (ITE), Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia,
lxxiian, jurnal, majalah, dan media publikasi lain
Muladi, 22 Agustus 2002,
“Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime”,
Media Hukum Vol. 1 No. 3, Persatuan Jaksa Republik Indonesia.Pattiradjawane, Rene L.,
“Media Konverjensi dan Tantangan Masa Depan”,
Usaha mewujudkan cita-cita hukum (rechtside) untuk mensejahterakan masyarakat melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang memiliki peran paling strategis. Dikatakan demikian karena hukum pidana hanya sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku mayarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan melawan hukum
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di
Cyberspace:
1. Pendekatan teknologi,
2. Pendekatan sosial budaya-etika, dan
3. Pendekatan hukum.
Untuk mengatasi keamanan gangguan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, diintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak. Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalah gunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga Cyber Crime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya.
Dikatakan penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau dalam istilah lain dapat dikenal, “ tiada pidana tanpa kesalahan”. Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bdikaitkan dengan Cyber Crime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Akhirnya dengan melihat pentingnya persoalan pembuktikan dalam Cyber Crime, makalah ini hendak mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Hukum Pembuktian terhadap
Cyber Crime dalam Hukum Pidana Indonesia. Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, bagaimana pembuktian-pembuktian dalam Cyber Crime cukup sulit dilakukan mengingat, bahwa hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku Cyber Crime untuk lepas dari proses pemidaan.
Bentuk-bentuk Cyber Crime pada umumnya yang dikenal dalam masyaakat dibedakan menjadi 3 (tiga) kualifikasi umum, yaitu :
a.Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer
• Illegal access
(akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)
• Data interference
(mengganggu data komputer)
• System interference
(mengganggu sistem komputer)
• Illegal interception in the computers, systems and computer networks operation
(intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer)
• Data Theft
(mencuri data)
• Data leakage and espionage
(membocorkan data dan memata-matai)
• Misuse of devices
(menyalahgunakan peralatan komputer)
b.Kejahatan Dunia Maya yang menggunakan komputer sebagai alat kejahatan
Credit card fraud
(penipuan kartu kredit)
•Bank fraud
(penipuan terhadap bank)
• Service Offered fraud
(penipuan melalui penawaran suatu jasa)
• Identity Theft and fraud
(pencurian identitas dan penipuan)
• Computer-related fraud
(penipuan melalui komputer)
• Computer-related forgery
(pemalsuan melalui komputer)
• Computer-related betting
(perjudian melalui komputer)
•Computer-related Extortion and Threats
(pemerasan dan pengancaman melalui komputer)
c.Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan isi atau muatan data atau sistem komputer
• Child pornography
(pornografi anak)
• Infringements Of Copyright and Related Rights
(pelanggaran terhadap hak cipta dan hak-hak terkait)
• Drug Traffickers
(peredaran narkoba), dan lain-lain.
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri; yakni bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.Selain itu, perkembangan hukum di Indonesia terkesan lambat, karena hukum hanya akan berkembang setelah ada bentuk kejahatan baru.
Jadi hukum di Indonesia tidak ada kecenderungan yang mengarah pada usaha preventif atau pencegahan, melainkan usaha penyelesaiannya setelah terjadi suatu akibat hukum. Walaupun begitu, proses perkembangan hukum tersebut masih harus mengikuti proses yang sangat panjang, dan dapat dikatakan, setelah negara menderita kerugian yang cukup besar, hukum tersebut baru disahkan. Kebijakan hukum nasional kita yang kurang bisa mengikuti perkembangan kemajuan teknologi tersebut, justru akan mendorong timbulnyakejahatan-kejahatan baru dalam masyarakat yang belum dapat dijerat dengan menggunakan hukum yang lama. Padahal negara sudah terancam dengan kerugian yang sangat besar, namun tidak ada tindakan yang cukup cepat dari para pembuat hukum di Indonesia untuk mengatasi masalah tersebut.
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu strafboarfeit. Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal act. Oleh karena itu KUHP Indonesia bersumber pada Wetbook van strafrecht Belanda, maka memakai istilah aslinya pun sama yaitu Strafboarfeit.Strafboarfeit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat dihukum.Srafbartfeit sama pengertiannya dengan Peristiwa pidana/ perbuatan pidana/Tindak pidana /danDelik.
Kemudian pemakaian istilah tindak pidana dan kejahatan seringkali mengalami kerancuan dan tumpang tindih dalam pemakaian istilah ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah yang dipakai dalam rumusan pasal pasal yang ada dalam rumusan KUHP adalah istilah tindak pidana.
Dalam hukum pidana sendiri istilah tindak pidana dikenal dengan strafbarfeit dan memiliki penjelasan yang berbeda beda akan tetapi intinya sama yaitu peristiwa pidana atau sebagai tindak pidana. Menurut Van Hamel,strafbarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet atau undang-undang yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Menurut P. Simons yang menggunakan istilah peristiwa pidana adalah perbuatan atau tindakan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Simon memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana dan tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (crime act) tindak pidana dengan unsur yang melekat pada aliran tinddak pidana (criminal responsibility atau criminal liability atau pertanggung jawaban pidana). Kemudian dia menyebut unsur unsur tindak pidana, yaitu perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawabUnsur-unsur tersebut oleh simon dibedakan antara unsur obyektif dan unsur subyektif. Yang termasuk unsur obyektif adalah : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertainya. Unsur subyektif adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan
Moeljatno memberikan pengertian tentang perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (Moeljatno, 1987,Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal 569 asruchin Ruba’i - Made S. Astuti Djajuli, 1989,Hukum pidana I, Malang, hal 35 xviii(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejadian itu10. Moeljatno memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility yang menjadi unsur tindak pidana.Menurut Moeljatno hanyalah unsur-unsur yang melekat pada criminal act (perbuatan yang dapat dipidana). Sedangkan yang termasuk unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan (manusia), memenuhi rumusan Undang-undang, bersifat melawan hukum
B. PENGAMANAN TELEKOMUNIKASI MENURUT UNDANG-UNDANGNOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI
Pasal 40 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”
Pasal tersebut diciptakan dengan maksut dan tujuan untuk mencegah, menghentikan dan menghukum para pelaku kejahatan melalui sarana telekomunikasi. Adanya landasan hukum tersebut masyarakat dapat melaporkan tindak kejahatan yang dilakukan melalui alat-alat telekomunikasi.
C. KOMPUTER
Institut Komputer Indonesia mendefinisikan komputer sebagai berikut: “Suatu rangkaian peralatan-peralatan dan fasilitas yang bekerja secara elektronis, bekerja dibawah kontrol statu operating system, melaksanakan pekerjaan berdasarkan rangkaian instruksi-instruksi yang disebut program serta mempunyai internal storage yang digunakan untuk menyimpan operating system, program dan data yang diolah.”
Operating system berfungsi untuk mengatur dan mengkontrol sumber daya yang ada, baik dari hardware berupa komputer,Central Processing Unit (CPU) dan memory/storage
serta software komputer yang berupa program-program komputer yang dibuat oleh programmer
Jenis-jenis Oerating System ntara lain PC-DOS (Personal Computer Disk Operating System), MS-DOS (Microsoft Disk Operating System), Unix, Microsoft Windows, dan lain-lain.
D. INTERNET
Internet adalah Sistem informasi global yang menghubungan berbagai jaringan komputer secara bersama-sama dalam suatu ruang global berbasis Internet Protocol.Internet merupakan jaringan luas dari komputer yang lazim disebut dengan orldwide network. Internet merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan komputer ini dapat berukuran kecil seperti
Institut Komputer Indonesia (IKI), 1981,Pengenalan Komputer (Introduction to Computer), hal. 1, dikutip dari Andi Hamzah, Loc. cit..xxLokal Area Network(LAN) yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan atau biasa disebut dengan intranet, dapat juga berukuran superbesar seperti internet.The Federal Networking Council (FNC) memberikan definisi mengenai internet dalam resolusinya tanggal 24 Oktober 1995 sebagai berikut:
“Internet refers to the global information system that –i.is logically linked together by a globally unique address space based in theInternet Protocol (IP) or its subsequent extensions/follow-ons;ii.is able to support communications using the Transmission ControlProtocol/Internet Protocol (TCP/IP) suite or its subsequent extension/followons,and/or other Internet Protocol )IP)-compatibleprotocols; andiii.Providers, uses or makes accessible, either publicly or privately, high levelservices layered on the communications and related infrastructure described herein.”
E. PENGERTIAN INFORMASI, TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)
Dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan, bahwa Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik.Tidak terbatas pada trbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah dioleh yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
F. PENGERTIAN PEMBUKTIAN DAN HUKUM PEMBUKTIAN
Menurut R. Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka Hakim atau Pengadilan. Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa pembuktian mengandung beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis.Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian dalam arti mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti.
Untuk membuktikan dalam arti konvensional, disinipun membuktikan berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya. Dan membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan demikian membuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi.
Hukum Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk memerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin atau ajaran, dan jurisprudensi. Karena hukum pembuktian bagian dari hukum acara pidana, makasumber hukum yang pertama adalah Undang-undang nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.Alat bukti adalah segala seuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai pembuktian guna menbimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah :
a.Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakanusaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
b.Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakanusaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut di sebut bukti kebalikan.
c.Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh negara.Menurut Drs. Adami Chazawi, SH.,MH., yang dimaksud dengan mencari bukti sesungguhnya adalah mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian dinilai oleh pejabat penyelidik untuk menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana ataukan tidak. Bagi penyidik, bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan, apakakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya.
G. PENGERTIAN ALAT BUKTI MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain dalam pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan :
“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :
a.alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b.alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”
H. KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBER CRIME)
Kejahatan adalah perbuatan merugikan orang lain dan/atau sekelompok orang dan/atau instasi yang dilakukan dengan bertujuan untuk menguntungkandiri sendiri, baik secara materi maupun kejiwaannya. Kejahatan dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas apapun sebagai alat untuk nelakukan perbuatannya, termasuk di dalamnya adalah perangkat Informasi dan Transaksi Elektronik, contohnya seperti komputer,credit card, televisi, dan lain sebagainya.Istilah cyberspace uncul pertama kali dari novel William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984.
Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon Perry Barlow pada tahun 1990.Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir. CambridgeAdvanced Learner's Dictionary memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet considered as an imaginary area without limits where you can meet people and discover information about any subject”
The American Heritage Dictionary of English Language Fourth Edition
mendefinisikan cyberspace sebagai “the electronic medium of computer networks, in which online communication takes place”. Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet. Bruce Sterling mendefinisikan cyberspace sebagai the ‘place’ where a telephone conversation appears to occur
Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) merupakan suatu tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan mediasi dunia maya atau Virtual World , salah satunya adalah melalui internet. Perbuatan melawan hukum dalam dunia maya sangat tidak mudah untuk diatasi denganmengandalkan hukum positif konvensional. Indonesia saat ini sudah merefleksikan diri dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa yang secara serius mengintegrasikan regulasi Hukum Siber ke dalam instrumen hukum positif nasionalnya.Cyber Law atau disebut juga Hukum Siber adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dunia maya, yang secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab. Sebutan Hukum Siber di beberapa negara lain adalah Law OfInformation Technology, Virtual World Law dan Hukum Mayantara.Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab yang berbasis virtual atau maya.Istilah Hukum Siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran, bahwa cyber jika diidentikan dengan dunia maya akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat atau semu.
I. BENTUK-BENTUK CYBER CRIME
Cyber Crime yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer:
a.Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)
Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lain.Hacking merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.Perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer belum ada diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pa22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menyatakan: “setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
-Akses ke jaringan telekomunikasi; dan/atau
-Akses ke jasa telekomunikasi; dan/atau
-Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
”Pasal 50 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Namun setelah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik diundangkan, pasal 22 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sudah tidak perlu digunakan lagi. Karena pasal 30 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sudah mampu menjerat pelaku.Dalam pasal 30 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan, bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau sistem Elektronik Milik orang lain (ayat 1) dengan cara apa pun, (ayat 2) dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumenelektronik, (ayat 3) dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.” Ketentuan pidana pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik diatur dalam pasal 46 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. untuk ayat 1, ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan ayat 2 pasal 46 memberikan ketentuan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).Untuk ayat 3, ketentuan pidanannya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
b.Data Interference (mengganggu data komputer)
Yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan merusak, menghapus, memerosotkan (deterioration ), mengubah atau menyembunyikan (suppression ) data komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan virus komputer merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering terjadi.Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam cyber crime . Jika perbuatan data interference dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat 1 KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronikmilik orang lain atau milik publik.”
Isi dari pasal tersebut di atas dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan tersebut, karena unsur-unsur pidananya telah terpenuhi.Ketentuan Pidananya diatur dalam pasal 28 ayat 1Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
c.System Interference (mengganggu sistem komputer)
Yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara memasukkan, memancarkan, merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan data komputer. Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan E-mail bombings (surat elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal di dalam cyber crime . Jika perbuatan data interference
dan system interference tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat (1) KUHP dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.Namun tidak demikian apabila yang rusak hanya sistem atau data dari komputer tersebut. Untuk kerusakan pada sistem, dasar hukumnya diatur dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”
Kemudian untuk ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak 10.000.000,000,00 (sepuluh miliar rupiah).
d.Illegal Interception In The Computers, Systems And Computer Networks Operation (intersepsi secara tidak sah)
PUSTAKA
Bandung : PT Alumni, 2006.Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya PencegahanKejahatan Berteknologi Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Ahmad M Ramli, Prinsip-prisnsip Cyber Law Dan kendala HukumPositif Dalam Menanggulangi Cyber Crime, FakultasHukum Universitas Padjajaran, Jakarta, Desember 2004.
Ahmad Suwandi dan B. Ryanto Setyo, “Menabur entuh,Menuai Software Tangguh”, PC Media 08/2004.
Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika,Jakarta,1990.
Bambang Sunggono,Metodologi penelitian hukum, Rajawali Press.Jakarta,2005.
Lxx Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,Mandar Maju. Bandung. 2003
Laporan Akhir Penelitian, Kementrian Komunikasi Dan Informasi, Jakarta,November 2003.
Moch. Safar Hayim, Mengenali Undang-undang Media Dan Siber, Refika Aditama.2002.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2005.
Saifudin Aswar, Metode Penelitian , Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003.
S‘to, “ Seni Internet Hacking Uncencored”, Jasakom, 2004.
______________, “ Kajian Hukum Tentang Kejahatan Di Dunia Maya(Cyber Crime)”
Peraturan Perundang-undangan
“Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN 1999-2004 TAP MPR NO. IV/MPR/1999”, 1999, Sinar Grafika, Jakarta.Kejaksaan Republik Indonesia, 1998, “Himpunan Peraturan tentang TugasDan Wewenang Kejaksaaan”, Buku II, diterbitkan oleh Kejaksaan Agung R.I.,Jakarta.Moeljatno, 1994, “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, cetakankesembilanbelas, Bumi Aksara, Jakarta.Soenarto Soerodibroto, 2000, “KUHP dan KUHAP”, Edisi keempat, cetakankelima, PT RajaGrafindo Persada,Jakarta.Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, 2000,cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan TransaksiElektronik (ITE), Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia,
lxxiian, jurnal, majalah, dan media publikasi lain
Muladi, 22 Agustus 2002,
“Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime”,
Media Hukum Vol. 1 No. 3, Persatuan Jaksa Republik Indonesia.Pattiradjawane, Rene L.,
“Media Konverjensi dan Tantangan Masa Depan”,
Sumber : http://advokatpurwadi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar