Prima Angkupi.SH.MH.MKn
M.Shofwan Taufiq. SHI. MSI.
Internet telah mempengaruhi pola hidup
manusia atau masyarakat, ternyata ada masalah serius yang dihadapi oleh
masyarakat berkenaan dengan maraknya Internet. Masalah itu adalah masalah
hukum. Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet tersebut
ternyata menimbulkan dampak negatif lain, ialah dalam bentuk perbuatan
kejahatan dari pelanggaran, yang kemudian muncul istilah cybercrime, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari computercrime. Dalam menjelaskan
tantangan perkembangan cyberlaw ,
Rene L. Pattiradjawane menyebutkan konsep hukum cyberspace, cyberlaw, dan cyberline
yang dapat menciptakan komunitas pengguna jaringan internet yang luas (60
juta), yang melibatkan 160 negara menimbulkan kegusaran para praktisi hukum
untuk menciptakan pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan terhadap
milik pribadi.[1]
Anak muda dan para remaja sebagian besar memiliki dan atau dapat
menggunakan komputer. Hal ini tidak terkecuali pula dengan Indonesia. Di
Amerika Serikat terdapat 80 juta orang dewasa dan 10 juta anak-anak yang mampu
mengakses internet. Keadaan ini tentu saja telah memarakkan terjadinya
kejahatan komputer.[2]
Sutan Remy Syahdeini berpendapat bahwa oleh karena interaksi dan perbuatan-perbuatan
hukum yang terjadi melalui atau di dunia virtual adalah sesungguhnya interaksi
antara sesama manusia dari dunia nyata, dan apabila terjadi pelanggaran hak
atas perbuatan hukum melalui atau di dunia virtual itu adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh manusia dari dunia nyata dan hak yang dilanggar adalah hak
dari manusia dari dunia nyata, maka hukum yang berlaku dan harus diterapkan
adalah hukum dari dunia nyata bukan sama sekali tidak dapat digunakan. Namun karena peristiwanya
berlangsung di atau melalui dunia virtual, maka tentulah tidak sepenuhnya hukum
yang berlaku bagi dunia nyata dapat digunakan. Dengan demikian,
bagi peristiwa-peristiwa dan perbuatan-perbuatan yang berdampak terhadap
sistem komputer memerlukan pula hukum khusus. Hukum khusus tersebut dikenal sebagai cyber law .[3]
Teknologi dalam hal ini teknologi informasi internet adalah bagaikan
monster yang tidak pernah akan berhenti dan menjadi semakin besar begitu ia
dilahirkan di dunia.[4] Internet menciptakan berbagai peluang
baru dalam kehidupan masyarakat ketika dilahirkan, seperti monster, internet
juga sekaligus menciptakan peluang-peluang baru bagi kejahatan. Di dunia virtual orang melakukan berbagai
perbuatan jahat (kejahatan) yang justru tidak dapat dilakukan di dunia nyata.
Kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai sarana
perbuatannya. Tanggal 20 September dan 1 November 2004 The Pew Internet Project melakukan online survey yang diikuti oleh 1.286 ahli. Menurut hasil
penelitian tersebut, dalam waktu 10 tahun mendatang Internet akan menjadi
demikian pentingnya bagi para pengguna komputer sehingga jaringan Internet akan
menjadi sasaran yang sangat mengundang bagi serangan kejahatan komputer. Kejahatan
yang dilakukan di dunia virtual dengan menggunakan komputer itu disebut
"kejahatan komputer" atau "cyber
crime". Istilah tersebut dilawankan dengan istilah "kejahatan
tradisional" atau "real-world
crime".
Penyalahgunaan atau dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi
melalui sistem
komputerisasi dan jaringan internet dikenal dengan istilah “Cyber Crime”. Cyber Crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang
mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat
ini.
Cyber crime yang juga sangat meresahkan dan
mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sering diungkapkan adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex .[5]
Cyber crime yang sangat meresahkan dan mendapat
perhatian berbagai kalangan, karena perkembangannya yang pesat dan dampak
negatifnya yang luas dan berbahaya adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan, yaitu cyberporn. Minimnya kontrol terhadap peredaran cyberporn, baik oleh Pemerintah, aparat maupun menyedia jasa
internet, mengakibatkan internet di Indonesia menjadi media non sensor yang
online 24 jam dan dapat dikonsumsi oleh siapa pun, termasuk anak-anak dan
remaja dengan harga yang relatif murah. Laporan tahun 2009 yang diberikan Norton.com. Layanan atau konten sex (pornografi) mendapat peringkat
empat tertinggi setelah situs youtube,
Google dan Facebook , dimana konten pornografi menjadi salah satu yang
paling dicari oleh anak-anak usia 7-13 tahun. [6]
Cyberporn
menciptakan masalah-masalah baru bagi tugas penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan oleh para penegak hukum. Banyak permasalah yang terjadi ketika
tindak pidana cyberporn dapat
diungkap oleh penegak hukum, Khususnya apabila kejahatan tersebut terkait
unsur-unsur asing, seperti pelakunya orang asing, korbannya orang asing atau
tempat terjadinya (locus delicti)
diluar negeri tetapi akibat nya dirasakan di Indonesia .[7]
Permasalahan yurisdiksi dalam penegakan hukum cyberporn dan sulitnya pembuktian mengakibatkan penaggulangan cyberporn sebaiknya dilakukan dengan
pendekan preventif. Konsekuensinya, electronic
information selain memerlukan adanya perlindungan yang kuat terhadap upaya-upaya
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk dapat
mengakses informasi yang tersimpan dalam sistem computer juga diperlukan kebijakan non penal sebagai bagian integral dengan kebijakan penal dalam
penanggulangan kejahatan. Dalam pendekatan sarana non penal atau kebijakan non
hukum pidana, maka harus ada kebijakan dalam upaya preventif untuk
penanggulangan cyberporn yang lebih
efektif dan bersifat pencegahan.
Hukum pidana hanya dapat terselenggara dalam batas-batas tertentu, dan
kekuasaannya hanya sampai pada perbuatan yang mudah dibuktikan.[8]
Keterbatasan sarana penal ini menuntut perlunya penggunaan sarana non penal
secara lebih maksimal, karena dapat menghilangkan dan menghapuskan sebab-sebab
terjadinya kejahatan.Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan
kejahatan (crime prevention) yang
sangat luas.
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari kebijakan
kriminal. Mengingat pornografi bukan hanya menyangkut permasalahan moral,
budaya dan HAM (Hak Asasi Manusia), tetapi juga masalah ekonomi, bisnis,
hiburan (entertainment) dan politik.
Oleh karena itu dalam kebijakan penanggulangan cyberporn harus pula dapat menangkal dampak negatif dari multiproblem tersebut.
Penegakan Hukum
Tindak Pidana Cyberporn
Pendekatan terpadu antara politik kriminal dan politik sosial maupun
keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal
perlu dilakukan. Is Heru Permana mengemukakan usaha penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan
hukum , khususnya penegakan hukum pidana. [9]
Upaya non penal dalam penanggulangan kejahatan meliputi bidang yang sangat
luas dalam seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha non penal
adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial yang secara tidak langsung mempunyai
pengaruh preventif terhadap kejahatan.[10]
Pencegahan kejahatan (prevensi)
sangat luas banyak badan atau pihak terlibat yang terlibat di dalamnya, yaitu pembentuk
undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pamong praja, dan aparatur
esekusi pidana, serta orang-orang biasa. Badan yang langsung mempunyai wewenang
dan kewajiban dalam pencegahan kejahatan adalah kepolisian. [11]
Upaya
penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal lebih bersifat tindakan
pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Faktor-faktor tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan. [12]
Pengaruh
Warnet Terhadap Perkembangan Kejahatan Melalui Internet
Warnet sangat berpengaruh terhadap
terjadinya tindak pidana pornografi melalui internet (cyberporn). Dalam analisis teori bahwa Faktor primer merupakan
faktor yang sangat utama dalam penyebab kejahatan. Sedangkan faktor sekunder
hanyalah faktor pendukung penyebab kejahatan. Tetapi peneliti menemukan bahwa
dalam realita hukum warnet sangan berpengaruh, karena para pengusaha warnet
mampu untuk membuka kembali jaringan terlarang (ilegal conten) yang di tutup pemerintah khususnya dalam hal
cyberporn. Selain mampu untuk mengakses ilegal content para pengusaha warnet
dengan sengaja dengan tidak melarang pelanggannya maengakses situs tesebut.
Sehingga pelanggan warnet yanf mayoritas adalah dibawah umur secara bebas
mengakes tayangan pornografi melali internet. Peneliti menyimpulkan karena
sangat berpengaruhnya warnet sebagai faktor sekunder penyebabb cyberporn sehingga hampir mendekati
penyebab utama (primer), pemerintah seharusnya mengontrol dan menindaak secara
tegas pengusaha warnet yang dengan sengaja atau hanya membiarkan akses cyberporn.
Kontrol pemerintah yang kurang terhadap
permasalahan tindak pidana cyber porn menjadikan
cyber porn sebagai hiden crime atau kejahatan yang tidak
terdeteksi yang memiliki dampak
negatif yang sangat luas di dalam masyarakat khususnya masyarakat di Kota Metro
. Oleh karena itu di perlukan upaya penanggulnagan terhadap tindak pidana cyber porn.Permasalahan yang kompleks
dalam menghadapi perkembangan pornografi melalui internet (cyber porn) dan keterbatasan hukum pidana dalam mengatasi cyberporn menjadikan penanggulangan
secara non penal sebagai upaya strategis dalam mengatasi cyber porn. Oleh karena itu perlu di ketahui apa faktor yang
mempengaruhinya.
Hasil penelitian penulis menunjukkan
bahwa adanya keterkaitan perkembangan warnet terhadap maraknya pornografi
melalui internet atau cyberporn. Kebijakan
pemerintah tentang pengembangan teknologi pada dasar nya telah diatur melalui Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2001 tentang pengembangan dan Pendayagunaan
Teknologi Telematika (ICT). Dengan kebijakan
tersebut sebenarnya warnet (warung internet) merupakan suatu trobosan untuk
mengembangkan informasi dan telemunikasi di seluruh wilayah Indonesia termasuk
daerah terpencil. Sehingga membuka warnet merupakan bagian yang diharapkan
pemerintah dalam mengembangkan komunikasi dalam masyarakat. Tetapi kemudahan
membuka warnet menyebabkan setiap kalangan ataupun semua orang dapat dengan
mudah menjadi pengasuha internet. Keuntungan
yang ditawarkan dari bisnis warung internet memang menjanjikan karena dengan
membuka beberapa line saja, sudah dapat dihitung berapa keuntungan yang akan
masuk. Mereka yang melihat peluang bisnis di bidang warung internet ini
kebanyakan adalah orang-orang kota atau mereka yang berada di perkotaan.
Kota Metro adalah
salah satu dari daerah yang tidak lepas dari serbuan warung internet, menurut
perhitungan peneliti jumlah warung internet di provinsi lampung mencapai 267
tempat di tahun 2013. Menurut hasil penelitian konsumen terbanyak dari penggua
warnet adalah mahasiswa , ssiswa SMP, SMU/SMK, pegawai/karyawan dan
masyarakat umum. Kebanyakan dari mereka menggunakan internet kebanyakan
untuk chatting, membaca surat kabar, melihat gambar porno, dan sedikit
yang memanfaatkannya untuk penelitian.
Keinginan untuk melihat gambar dan video porno dari internet merupakan daya
tarik bagi pengguna untuk mengakses internet terutama pada kalangan pelajar. Mudahnya untuk mengakses situs porno sehingga bagi warnet ini merupakan daya
tarik tersendiri. Beberapa warnet di kota
Metro yang merupakan kota pendidikan
bahkan dengan sengaja tidak memproteksi warnetnya dari konten porno agar
konsumen tetap banyak yang mengunjungi. Untuk itu penulis menganalisis walaupun
kebijakan pemerintak cenderung memudahkan pembukaan usaha warnet sebagai
pengembangan teknologi informasi masyarakat, tetapi diperlukan pengawasan khusus
terhadap warnet.
Peneliti akan
menganalisis melalui teori pemisahan penegakan hukum dengan dua aspek yaitu
aspek primer dan sekunder. Aspek primer merupakan penanggulanag kejahatan cyberporn melalui pembuatnya atau
creator dan pihak yang berkaitan denga video porno seperti porduser,artis,
sutradara, bahkan web nya memberikan konten porno. Aspek sekunder yaitu
penegakan hukum ketika film tersebut telah beredar, artinya pihak yang menjadi
faktor pendukung penyebaran video tersebut sehingga dapat di konsumsi oleh
konsumen.Pihak dalam aspek sekunder dalam teori penulis adalah pengusaha
warnet. Dengan adanya tindakan tegas dari pemerintah atau regulasi yang jelas
tentang etika pengusaha warnet harus segera di formulasikan. Hal ini karena
warnet sangat berpengaruh dalam peningkatan konsumsi pornografi melalui
internet.
Penutup
Adanya
keterkaitan perkembangan warnet terhadap maraknya pornografi melalui internet
atau cyberporn. Kebijakan pemerintah
tentang pengembangan teknologi pada dasar nya telah diatur melalui Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2001 tentang pengembangan dan Pendayagunaan
Teknologi Telematika (ICT). Dengan kebijakan
tersebut sebenarnya warnet (warung internet) merupakan suatu trobosan untuk
mengembangkan informasi dan telemunikasi di seluruh wilayah Indonesia termasuk
daerah terpencil. Sehingga membuka warnet merupakan bagian yang diharapkan
pemerintah dalam mengembangkan komunikasi dalam masyarakat. Tetapi kemudahan
membuka warnet menyebabkan setiap kalangan ataupun semua orang dapat dengan
mudah menjadi pengusaha internet tanpa disertai
dengan regulasi yang jelas sehingga warnet menjadi ladang dalam pengebaran cyber porn.
Refrensi
Buku-Buku
Literatur
Beccaria,Cesare.1764.
an essay on crime and punishments diterjemahkan
oleh Wahmuji, 2011. (Perihal kejahatan
Dan Hukuman.) Penerbit Genta Publishing. Yogyakarta.
Bentham,
Jeremy. 1979, The Theory of diterjemahkan
oleh Nurhadi.MA, 2006. Legislation (Teori
Perundang Undangan.) .Penerbit Nusa Media. Bandung
Heru Permana, Is.
2007. Politik Kriminal. Penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta.
M. Arief Mansur,Dikdik. 2009. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi.
Refiks
Aditama. Bandung.
Nawawi Arief, Barda. 2008. Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Media Group. Jakarta.
Nawawi
Arief, Barda, 2006. Tindak Pidana
Mayantara. Raja Grafindo Persada.Jakarta
Rahardjo,
Satjipto, 2010. Sosiologi Hukum.
Penerbit Genta Publishing.Yogyakarta
Remy
Syahdeini, Sutan. 2009. Kejahatan &
Tindak Pidana Komputer. PT Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
Suparni, Niniek. 2009. Cyber Space Problematika & Antisipasi
Pengaturannya.Sinar Grafika.
Jakarta
Sulianta,
Feri. 2011. Cyber Porn. Elex media
Komputindo.jakarta
Wahid,
Abdul. 2007. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). PT Refika Aditama.
Bandung.
Makalah
Dan Artikel (Di Media Massa, Media Elektronik, dan Website)
Cyber Ethic. Retrived/ diakses dari http//www.ParentNews
Safety.com diases
tanggal 7 oktober Tahun 2011
Irsyandi. Etika Dalam Berinternet Cyber Ethic. Retrived/ diakses dari http://irsyandhi.blogspot.com/. Pukul 12.20 WIB, Tanggal 7, Oktober, Tahun 2011
ICT-Watch. Retrived/ diakses dari http://www.ciptamedia.org/tentang-kami/ict-watch/. Pukul
12.49 WIB, Tanggal 7, Oktober, Tahun 2011
2009.hal.9
Grafiti.2009. hal.8
[4] Revolusi kebudayaan terjadi adanya
perubahan atau tranformasi suatu masyarakat dengan sistematis, teratur dan
progesif menerapkan ilmu dan teknologi. Menurut Toffler orang berbicara mengenai
revolusi-revolusi di dunia, yaitu revolusi pertanian, dan dan terjadinya
pertanian menetap, revolusi berikutnya adalah revolusi industri dan yang
terkhir orang berbicara revolusi ketiga di dunia, yaitu kelahiran abad mikro
elektronik, yang oleh toffler di sebut sebagai gelombang ketiga. Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum. Yogyakarta. Penerbit Genta Publishing. 2010. Hal.57-59
Aditama. 2009.hal.23
[8]
Jeremy Bentham menyatakan hukum pidana walaupun dibuat sesempurna
mungkin, sistem pidana mengandung cacat pada beberapa hal: Pertama. Kejahatan harus ada sebelum perbaikan bisa
dijalankan.Perbaikan tercipta dengan menerapkan hukuman, dan hukuman tidak bisa
diterapkan sampai pelanggaran sudah terjadi. Kedua. Hukuman itu sendiri adalah suatu kejahatan, kendati perlu
untuk mencegah kejahatan yang lebih besar. Ketiga.
Sistem pidana tidak mampu menjangkau banyak tindakan merugikan yang lupu dari
peradilan karena kerapnya terjadi, kemudahan untuk menyembunyikannya, kesulitan
dalam mendefinisikannya, atau karena perubahan jahat opini publik yang
mendukung pelanggaran-pelangaran itu. Jeremy Bentham., The
Theory of legislation. 1979. diterjemahkan
oleh Nurhadi.MA. (Teori
Perundang Undangan.) .Penerbit Nusa Media. Bandung. 2006.hal.399 . Menanggapi hal tersebut penulis berpendapat ketidak sempurnaan
hukum pidana harus diatasi dengan penggunaan cara-cara baru yang lebih bersifat
mencegah melalui pengkajian terhadap
penyebab perilaku menyimpang (devians)
dan itiologi.
Group.2008.hal. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar